Rabu, 18 Maret 2015

BAB 12 Jesus and a Better Country



Bab 12
Jesus and a Better Country



Running the Race
Pada akhir pasal 11, kita melihat diri kita sendiri adalah nama yang terakhir tercantum dalam daftar pahlawan iman. Permulaan pasal 12mengalihkan kita secara metafora dari daftar-daftar “orang-orang yang…” ke sebuah lintasan lari di studion atletik. Semua pahlawan-pahlawan iman sebelumnya telah memenuhi stadion tersebut untuk menjadi penonton bagi kita dna menyoraki kita. (Tentunya, bukan berarti buku Ibrani menyatakan bahwa mereka masih hidup sekarang. Kita sudah mempelajari dalam pasal 11: 39 bahwa mereka belum menerima penghargaan. Dengan kata lain, mereka belum berada di neri yang baru itu. Tapi ingat bahwa ini adalah pernyataan bersifat metafora. Dalam pengertian metafora, pengaruh semua orang beriman terdahulu itu masih ada dan menguatkan kita.)

                Jadi kita sekarang berada pada lintasan itu, dikelilingi oleh saksi-saksi iman yang telah pergi mendahului kita.Dan kita sekarang bersiap untuk berlari. Hal pertama yang harus kita lakukan, menurut buku Ibrani, yaitu meninggalkan beban kita. Di jaman Greco Roma para atlet berlari dengan beban dengan maksud untuk melatih tangan dan kaki mereka. Mereka berlatih seperti ini agar pada saat perlombaan datang, mereka akan merasa lebih ringan dan tanpa beban. Buku ibrani membandingkan beban yang digunakan untuk berlatih dengan dosa yang menahan kita di belakang sebagai orang Kristen. Sesudah kita menanggalkan beban kita dan berada di garis start, langkah selanjutnya adalah melihat ke depan garis finish. 

                Dalam ayat 2 buku Ibrani menunjukan bahwa,bagi kita, garis finish itu adalah kita harus tetap mengarahkan mata kita pada Yesus Kristus itu sendiri. Dia adalah perintis dan penyempurna iman kita. Dengan kata lain, Dialah oknum yang meletakan iman kita di garis start dan yang akan membawa iman kita sampai pada titik akhirnya. Dan iman itu akan aman dalam tanganNya, karena Dia bukan hanya memikul salib bagi kita namun sekarang telah duduk di sebelah kanan tahta Allah. (inilah tempat hadirat Allah, sama dengan Bilik Maha Suci di Kaabah di Surga.) 

                Ayat 3 menunjukan masalah yang dihadapi para pembaca pertama penulis buku Ibran. Sementara mereka menghadapi lintasan perlombaan itu, mereka dicobai dengan kekhawatiran dan putus asa. Kita tahu bahwa kesuksesan dalam atletik bukan hanya oleh karena kemampuan dasar fisik, tapi juga dengan hati. Seorang atlet harus memiliki hati. Hati yang ingin menang.

                Pembaca buku Ibrani yang pertama telah menghadapi penganiayaan, tentu saja tidak sampai menjadi martir. Adalah satu bahaya dimana pencobaan dan kesukaran telah menjadikanmereka letih dan tanpa pengharapan. Jawaban satu-satunya untuk bahaya ini adalah tetap menjaga pandangan mereka terus tertuju kepada Yesus. Buku Ibrani menekankan ini berulang kali.

Dalam ayat 5-11 buku Ibrani mengangkat topic tentang disiplin. Kita semua tahu bahwa untuk berhasil dalam lintasan, sebagaimana usaha keras yang dibuat oleh atlit, disiplin juga haruslah menjadi kunci. Sekalipun dengan menggunakan analogi atlit, kita data menganggap bahw ide tentang disipin yang dibicarakan disini adalah seperti upaya pelatih untuk menggodok pelari agar dapat berhasil dalam perlombaan, dengan jenis-jenis pelatihan yang keras. Namun buku Ibrani nampaknya sedikit memindahkan porseneling dan berbicara tentang disiplin dalam konteks hubungan ayah-anak. Saya pikir ini adalah alasan yang baik. Penulis mengetahiu bahwa disiplin Allah harus dipahami dalam suasana kasih yang seharusnya diberlakukan dirumah. Kenyataannya, kata untuk disiplin yang digunakan disini berasal dari akar kata yang sama dengan yang digunakan untuk kata a little child (anak kecil).

                Pembicaraan dimulai (ayat 5 dan 6) dengan kutipan dari Amsal 3:11-12, yang mengingatkan pembaca bahwa disiplin Allah itu ada karena Ia mencintai anak-anakNya. Dengan jelas buku Ibrani menyatakan bahwa semua penderitaan secara langsung disebabkan oleh Karen keinginan Allah untuk mendisiplin. Banyak kali Allah menggunakan peristiwa-perisitiwa dalam kehidupan yang adalah bagian dari dunia yang berdosa, tapi bukan karena kehendakNya, untuk mengajar kita. Tapi buku Ibrani memberikan kepada umat percaya satu cara yang baru untuk memandang pencobaan dan kesukaran itu. Pencobaan dan kesukaran itu adalah alat yang Allah gunakan untuk mengajari kita. Dan Dia melakukan ini karena Dia mengasihi kita. Kita semua tahu bahwa orang tua yang sepenuhnya menganut filosofi hiduplah dan biarkan hidup itu, menunjukan ketidakpedulian mereka terhadap apa yang mereka lakukan anak-anak mereka sekalipun tindakan anak-anak mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Buku Ibrani mengatakan bahwa engkau mungkin bertanya apakah orang tua seperti ini adalah orang tua yang sungguh-sungguh.

                Mungkin anda berpikir dan menginginkan saat dimana orang tua anda sedikit tidak mengasihi anda, paling tidak untuk beberapa saat ,sehingga mereka tidak peduli dengan apa yang engkau lakukan. Tapi engkau pasti tidak menyukai hai itu terjadi dalam waktu yang lama, bukan ? Dalam hati kita mengetahui bahwa kasih dan kepedulian itu berjalan bersama, dan jika orang tua kita benar-benar tidak peduli, mereka tidak mengasihi kita. Itulah poin yang buku Ibrani tekankan tentang Allah. Sekalipun disiplin itu menyakitkan, kita tahu bahwa kita dapat melaluinya. Oleh karena itu, buku Ibrani mengatakan bahwa kita harus menyerah kepada disiplin Allah, orang tua kita yang sangat mengasihi, dan kemudian mengalami buah-buah yang dihasilkannya(ayat 11).

                Dua ayat terakhir dari bagian terakhir dalam pasal ini membawa kita kembali pada analogi sebuah lintasan perlombaan dan memberikan grafik, gambaran yang tragis dari masalah-masalah yang dihadapi para pembaca pertama buku ini. Bayangkanlah, amphitheater Roma telah dipenuhi dengan penonton. Semua mata tertuju kepada para pelari ketika mereka meninggalkan garis start. Salah satu pelari memiliki tangan dan kaki yang lemah dan jadi pincang bukan karena cacat tubuhnya melainkan karena keputusasaan. Inilah yang gambaran orang yang kehilangan pengharapan. Namun buku Ibrani dengan gembira mengumumkan bahwa hal ini tidak akan terjadi. Pelari yang lemah tidak akan berhenti karena tidak mampu tapi mereka akan disembuhan (ayat 13). Rahasiannya adalah tetaplah menatap kepada Tuhan Yesus.

Another Warning
                Di pasal 6 dan 10 kita telah melihat amaran yang sangat keras yang nampaknya menghilangkan kemungkinan untuk sebuah pertobatan. Di sini di pasal 12, mulai dari ayat 14, kita datang pada amaran yang ketiga dan yang terakhir. Kita telah memperhatikan polanya dalam dua amaran sebelumnyadan contoh yang terakhir ini sangat cocok dengan pola itu. Ingatlah bahwa amaran yang keras nampaknya menyarankan bahwa jika seseorang yang telah menjadi Kristen berbalik, tidak ada kesempatan lagi untuk bertobat. Namun bagian kedua dari pola ini adalah satu jaminan kembali bahwa pembaca sekarang tidak berada pada poin itu dan harus mengambil kesempatan untuk bertobat. Di sini kita melihat pola yang sama dinyatakan kembali.

                Dalam ayat 14-17 para pembaca diperingatkan, dengan pertolongan contoh dari Esau, untuk tidak menjadi ornag yang tak bermoral dan tak kenal Allah. Esau menjual hak kesulungannya hanya untuk sedikit makanan. Setelah itu, sekalipun dengan penuh airmata ia memohon untuk satu pertobatan dan untuk menerima berkat itu, namun tidak ada kesempatan lagi. Beberapa tindakan secara sederhana memiliki konsekuensi yang tidak dapat terelakkan, tidak dapat kembali seperti semula ketika tindakan itu belum terjadi , sekalipun oleh pertobatan. Jika engkau membunuh seseorang, sejumlah maaf yang besar sekalipun tidak akan mengembalikan kehidupan seseorang yang telah mati itu. Engkau dapatbertobat dan diselamatkan, tapi engkau tidak dapat mengembalikan konsekuensi dari tindakanmu itu. Ini seharusnya menjadi amaran yang serius dalam mengambil satu keputusan. Namun sekali lagi, dalam pasal ini, kita melihat ada panggilan untuk sebuah pertobatan, yang menyatakan bahwa para pembaca bukanlah berada pada situasi yang tanpa pengharapan. Disinilah penulis mengangkat analogi yang lain lagi, perbandingan antara dua bukit.

A Tale of Two Mountains
Ayat 18 hingga 24 membandingkan dua bukit. Yang pertama tidak diberi nama, tapi jika kita mengenal cerita dalam buku keluaran dan cerita pemberian hukum dalam Perjanjian Lama, kita tidak akan kesulitan untuk memahami bahwa itu adalah bukit Sinai. Tentunya, bukit itu terletak di suatu tempat sebelah Timul Laut Mesir. Disinilah Allah memberikan hukum itu.

                Poin yang ditekankan buku Ibrani tentang bukit Sinai sama dengan yang dipelajaran ini diberikan dari kenyataan bahwa kita kehilangan akses pada hadirat Allah dalam kaabah di bumi. Ingat bahwa dalam kaabah dibumi, para umat dipisahkan dari hadirat Allah karena hanya imam besar yang dapat memasuki Bilik Maha Suci, dan juga hanya setahun seali. Demikian juga, dalam pengertian yang sama, keseluruhan pengalaman yang terjadi di gunung Sinai menekankan jarak dari Allah. HadiratNya sangatlah tidak dapat dijangkau dimana bahkan sekalipunhanya hewan yang menyentuh gunung itu, haruslah dilontari dengan batu. Dan bahkan sekalipun Musa gemetar ketakutan. Untuk “Menjangkau” atau datang mendekati gunung seperti itu adalah sesuatu yang sangat menakutkan.

                Tapi menurut ayat 22, para pembaca sekarang tidak perlu datang ke bukit Sinai. Mereka harus datang ke bukit Zion, bukit kaabah Yerusalem. Tapi bukanlah Yerusalem di bumi ini. Melainkan Yerusalem sorgawi. Umat ini memiliki hak istiewa untuk menghampiri hadirat Allah, Hakim segala sesuatu, oleh karena Yesus, perantara perjanjian baru, Imam besar dan saudara mereka yang berada disana. Sekali lagi buku Ibrani. Menggambarkan orang Kristen seperti sudah berada di bukit Zion, sudah berada di hadirat Allah. Inilah akses atau jalan kita menghampiriNya yang diinisiatifkan untuk kita dan yang kita nikmati sekarang.

Faktanya, kata Grika yang diterjemahkan approach atau come dalam ayat 18 dan 22 adalah kata yang menarik dalam buku ini. Kata itu dapat digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk tindakan seperti memindahkan sesuatu. Tapi kata itu juga dapat digunakansebagai salah satu istilah teknis untuk menjangkau/menghampiri dewa melalui korban atau persembahan di kuil. Buku Ibrani menggunakan kata itu berkali-kali, dan mencapai puncak penggunaan lebih banyak pada paragraph di pasal ini.

                Pertama kali kita menemukan kata ini dalam buku Ibrani adalah di bagian awal kita mendiskusikan tentang kaabah dalam pasal 4:16, dimana kita pertama kali diundang untuk menghampiri tahta kasih karunia dengan keyakinan karena Yesus adalah Imam Besar kita. Dan kita menemukannya lagi dalam pasal 7:25, dimana kita dijamin bahwa Kristus mampu menyelamatkan semua yang datang kepada Allah melalui Dia. Dalam Pasal 10 :1 kita menemukan bahwa hukum korban yang diulang-ulang di kaabah bumi tidak dapat menyempurnakan mereka yang menghampiri Allah melalui korban, dimana Ibrani 10:22 mengakhiri pekabaran tentang kaabah dalam buku Ibrani dengan mengatakan kepada kita bahwa melalui Kristus kita dapat mendekati Allah dengan keyakinan. Ibrani 11:6 mengatakan bahwa untuk menghampiri Allah, kita harus percaya bahwa Dia ada dan menghargai mereka yang mencariNya. Akhirnya sekarang kita melihat lagi perbandingannya, Dibukit Sinai untuk menghampiri Allah adalah sesuatu yang menakutkan dan menggetarkan. Tapi sekarang orang Kristen dapat menghampiri hadirat Allah di bukit Zion.

                Tema menghampiri Allah atau akses kepada Allah adalah pokok pembicaraan yang sangat jelas dalam buku Ibrani. Berulang-ulang kali kita diberitahukan tentang cara yang baru dengan berbagai metafora yang menyatakan bahwa kita memiliki keistimewaan untuk menghampiri Allah secara langsung, bukan dengan gemetar dan ketakutan, tapi dengan keyakinan dan jaminan.

                Ini adalah kabar baik terutama ketika kita hidup di satu zaman dimana dua kata yang paling ditakutkan adallah “access denied”. Pernahkah anda melihat ini di layar dan engkau menjadi panik? Bayangkan jika engkau berada di tempat yang jauh dari orang-orang yang dekat dengan engkau, dan engkau membutuhkan uang. Namun ketika engkau hendak mengambil uang dari ATM, engkau hanya menemukan kata “akses ditolak” pada layar. Atau ketika engkau hendak menghubungi orang-orang yang engkau butuhkan, engkau hanya mendapati tulisan pada layar “akses ditolak  di HPmu. Betapa suatu kabar baik bagimu bahw Allah tidak pernah menolak aksesmu kepadaNya.

                Namun kabar baik ini seharusnya tidak menina-bobokan kita Mengabaikan kesempatan seperti ini dapat berarti kematian dan kehancuran. Buku Ibrani menekankan bahwa mereka yang menolak Allah di gunung Sinai tidak akan luput dari hukuman. Betapa berbahayanya lagi jika kita menyia-nyiakan kesempatan yang besar yang diberikan kepada kita.

                Pada akhir pasal ini, buku IBrani memberikan metafora yang mengejutkan karena dengan gamblang menyatakan idenya. Di Sinai Allah menggungcang bumi, tapi para nabi mengatakan bahwa akan datang saatnya dimana Allah akan mengguncangkan langit dan bumi. Guncanggan terakhir ini adalah untuk mendirikan kerajaan yang tidak terguncanggkan, kerajaan kemana kita diundang (ayat 25-29)

Beberapa alas an utama untuk kesedihan di atas bumi ini terjadi oleh karena kehilangan kesempatan. Beberapa kesempatan tidak dapat datang dua kali. Dalam bukunya berjudul “Liga Negro” (yang kemudian disebut) Baseball,  dimana pemain Afrila-Amerika bermain karena mereka tidak diizinkan bermain pada ajang perlombaan besar,Buck O’ Neil menceritakan banyak kisah tentang kehilangan kesempatan. Sungguh menyedihkan bila memikirkan bahwa ada begitu banyak pemain besar yang dapat menraih rekor pada ajang perlombaan besar jika saja mereka diijinkan bermain pada tingkat kemampuan mereka itu. Engkau mungkin pernah merasakannya. Engkau tahu bahwa engkau mampu mencapai rekor dalam suatu perlombaan jika saja engkau yang dipiih untuk ikut serta dalam perlombaan tersebut, namun sayangnya, engkau tidak terpilih. Engkau kehilangan kesempatan. Coba renungkan betapa menyedihkan jika orang yang dipilih menggantikan engkau tidak mencapai rekor, kalah. Betapa menyedihkan namun engkau telah kehilangan kesempatan itu. Atau engkau mungkin telah dipilih namun oleh karena masalah pribadimu, engkau tidak bisa menang. Betapa menyedihkan kehilangan kesempatan seperti itu.

                Kita punya banyak kesempatan-kesempatan besar untuk menghampiri Allah alam semesta. Bagaimana mungkin kita mengabaikan kesempatan seperti itu,lalu? Dan meskipun kita tahu bahwa Allah selalu murah hati, namun kita tidak tahu apa yang akan terjadi kepada kita besok hari.

                Nah, apa yang dapat kita lakukan? Ibrani 12:28 mengatakannya dengan sederhana. Hanya satu hal- mengucap syukur. Karena Mengucap syukur kepada Allah adalah mempraktekkan pengabdian yang Dia inginkan. Apa lagi yang dapat kita lakukan bagi Allah, karena kita telah menerima karunia yang ajaib dengan percuma dari Allah alam semesta yang besaritu selain dari pada mengucap syukur dengan rasa hormat dan kagum dna menunjukan sikap hormat lita melalui kehidupan yang mengucap syukur? Pada awal pasal (ayat 10), penulis berbicara tentang disiplin yang Allah berikan , yang menuntun kita untuk merasakan kesucian Allah. Menjadi suci berarti menjadi milik Allah, menjadi bagian dari keluargaNya, menjadi bagian dalam keselamatanNya. Itu suatu penghormatan, rasa terima kasih kita kepada Allah.
                Perhatikanlah bahwa sekalipun kita harus menanggalkan  sikap takut dan gemetar di hadapan Allah seperti yang ditunjukan di Gunung Sinai dan datang dengan keyakinan menghampiri bukit Zion dimana Dia tingggal, namun kitapun tetap masih harus memiliki perasaan kagum dan hormat kepada Allah. Dia adalah Allah, dan kita adalah manusia. Kenyataan inilah yang membuat Allah berkehendak memberikan akses untuk kita menghampiri hadiratNya yang lebih mengangunggkan itu.





Jika kita menggabungkan beberapa analogi dalam pasal ini, gambarannya akan jadi sebagai berikut. Kita berada dalam suatu perlombaaan. Kita telah menanggalkan beban dosa yang dapat menyebabkan kita lemah, dan kita sementara berlari menuju garis finish. Pelatih kita, yang juga adalah Bapa Sorgawi kita, sangat tau dorongan apa dan disiplin apa yang harus diberikan kepada kita agar kita sukses, karena Dia sendiri telah memikul Salib itu untuk kita. Tujuan kita dalam perlombaan ini adalah bukit Zion, Yerusalem Surgawi. Kristus sudah mempersiapkan jalan bagi kita untuk mencapainya. Kita dapat saja kehilangan semangat dan menolak untuk maju terus. Tapi jika kita melakukannya, konsekuensinya sangat mengerikan. Namun jika kita terus menjaga pandangan kita tetap menatap kepada Yesus dan membiarkan Dia menuntun kita, kita dapat mencapaiNya. Tanpa keraguan. Peran kita adalah untuk selalu mengucap syukur dan terus berlari.
 
 










                Pasal terakhir dalam buku Ibrani, yang kita akan pelajari pada lesson berikutnya, akan membentuk satu kehidupan yang tahu mengucap syukur kepada Allah.

0 komentar:

Posting Komentar