Bab 12
Jesus and a Better
Country
Running the Race
Pada akhir pasal 11, kita melihat diri kita sendiri adalah
nama yang terakhir tercantum dalam daftar pahlawan iman. Permulaan pasal
12mengalihkan kita secara metafora dari daftar-daftar “orang-orang yang…” ke
sebuah lintasan lari di studion atletik. Semua pahlawan-pahlawan iman
sebelumnya telah memenuhi stadion tersebut untuk menjadi penonton bagi kita dna
menyoraki kita. (Tentunya, bukan berarti buku Ibrani menyatakan bahwa mereka
masih hidup sekarang. Kita sudah mempelajari dalam pasal 11: 39 bahwa mereka
belum menerima penghargaan. Dengan kata lain, mereka belum berada di neri yang
baru itu. Tapi ingat bahwa ini adalah pernyataan bersifat metafora. Dalam
pengertian metafora, pengaruh semua orang beriman terdahulu itu masih ada dan
menguatkan kita.)
Jadi
kita sekarang berada pada lintasan itu, dikelilingi oleh saksi-saksi iman yang
telah pergi mendahului kita.Dan kita sekarang bersiap untuk berlari. Hal
pertama yang harus kita lakukan, menurut buku Ibrani, yaitu meninggalkan beban
kita. Di jaman Greco Roma para atlet berlari dengan beban dengan maksud untuk
melatih tangan dan kaki mereka. Mereka berlatih seperti ini agar pada saat
perlombaan datang, mereka akan merasa lebih ringan dan tanpa beban. Buku ibrani
membandingkan beban yang digunakan untuk berlatih dengan dosa yang menahan kita
di belakang sebagai orang Kristen. Sesudah kita menanggalkan beban kita dan
berada di garis start, langkah selanjutnya adalah melihat ke depan garis
finish.
Dalam ayat
2 buku Ibrani menunjukan bahwa,bagi kita, garis finish itu adalah kita harus
tetap mengarahkan mata kita pada Yesus Kristus itu sendiri. Dia adalah perintis
dan penyempurna iman kita. Dengan kata lain, Dialah oknum yang meletakan iman
kita di garis start dan yang akan membawa iman kita sampai pada titik akhirnya.
Dan iman itu akan aman dalam tanganNya, karena Dia bukan hanya memikul salib
bagi kita namun sekarang telah duduk di sebelah kanan tahta Allah. (inilah
tempat hadirat Allah, sama dengan Bilik Maha Suci di Kaabah di Surga.)
Ayat 3
menunjukan masalah yang dihadapi para pembaca pertama penulis buku Ibran.
Sementara mereka menghadapi lintasan perlombaan itu, mereka dicobai dengan
kekhawatiran dan putus asa. Kita tahu bahwa kesuksesan dalam atletik bukan
hanya oleh karena kemampuan dasar fisik, tapi juga dengan hati. Seorang atlet
harus memiliki hati. Hati yang ingin menang.
Pembaca
buku Ibrani yang pertama telah menghadapi penganiayaan, tentu saja tidak sampai
menjadi martir. Adalah satu bahaya dimana pencobaan dan kesukaran telah
menjadikanmereka letih dan tanpa pengharapan. Jawaban satu-satunya untuk bahaya
ini adalah tetap menjaga pandangan mereka terus tertuju kepada Yesus. Buku
Ibrani menekankan ini berulang kali.
Dalam ayat 5-11 buku Ibrani mengangkat
topic tentang disiplin. Kita semua tahu bahwa untuk berhasil dalam lintasan,
sebagaimana usaha keras yang dibuat oleh atlit, disiplin juga haruslah menjadi
kunci. Sekalipun dengan menggunakan analogi atlit, kita data menganggap bahw
ide tentang disipin yang dibicarakan disini adalah seperti upaya pelatih untuk
menggodok pelari agar dapat berhasil dalam perlombaan, dengan jenis-jenis
pelatihan yang keras. Namun buku Ibrani nampaknya sedikit memindahkan
porseneling dan berbicara tentang disiplin dalam konteks hubungan ayah-anak.
Saya pikir ini adalah alasan yang baik. Penulis mengetahiu bahwa disiplin Allah
harus dipahami dalam suasana kasih yang seharusnya diberlakukan dirumah.
Kenyataannya, kata untuk disiplin yang digunakan disini berasal dari akar kata
yang sama dengan yang digunakan untuk kata a
little child (anak kecil).
Pembicaraan
dimulai (ayat 5 dan 6) dengan kutipan dari Amsal 3:11-12, yang mengingatkan
pembaca bahwa disiplin Allah itu ada karena Ia mencintai anak-anakNya. Dengan
jelas buku Ibrani menyatakan bahwa semua penderitaan secara langsung disebabkan
oleh Karen keinginan Allah untuk mendisiplin. Banyak kali Allah menggunakan
peristiwa-perisitiwa dalam kehidupan yang adalah bagian dari dunia yang
berdosa, tapi bukan karena kehendakNya, untuk mengajar kita. Tapi buku Ibrani
memberikan kepada umat percaya satu cara yang baru untuk memandang pencobaan
dan kesukaran itu. Pencobaan dan kesukaran itu adalah alat yang Allah gunakan
untuk mengajari kita. Dan Dia melakukan ini karena Dia mengasihi kita. Kita
semua tahu bahwa orang tua yang sepenuhnya menganut filosofi hiduplah dan
biarkan hidup itu, menunjukan ketidakpedulian mereka terhadap apa yang mereka
lakukan anak-anak mereka sekalipun tindakan anak-anak mereka tidak sesuai
dengan apa yang mereka inginkan. Buku Ibrani mengatakan bahwa engkau mungkin
bertanya apakah orang tua seperti ini adalah orang tua yang sungguh-sungguh.
Mungkin
anda berpikir dan menginginkan saat dimana orang tua anda sedikit tidak
mengasihi anda, paling tidak untuk beberapa saat ,sehingga mereka tidak peduli
dengan apa yang engkau lakukan. Tapi engkau pasti tidak menyukai hai itu
terjadi dalam waktu yang lama, bukan ? Dalam hati kita mengetahui bahwa kasih
dan kepedulian itu berjalan bersama, dan jika orang tua kita benar-benar tidak
peduli, mereka tidak mengasihi kita. Itulah poin yang buku Ibrani tekankan
tentang Allah. Sekalipun disiplin itu menyakitkan, kita tahu bahwa kita dapat
melaluinya. Oleh karena itu, buku Ibrani mengatakan bahwa kita harus menyerah
kepada disiplin Allah, orang tua kita yang sangat mengasihi, dan kemudian
mengalami buah-buah yang dihasilkannya(ayat 11).
Dua ayat
terakhir dari bagian terakhir dalam pasal ini membawa kita kembali pada analogi
sebuah lintasan perlombaan dan memberikan grafik, gambaran yang tragis dari
masalah-masalah yang dihadapi para pembaca pertama buku ini. Bayangkanlah,
amphitheater Roma telah dipenuhi dengan penonton. Semua mata tertuju kepada
para pelari ketika mereka meninggalkan garis start. Salah satu pelari memiliki
tangan dan kaki yang lemah dan jadi pincang bukan karena cacat tubuhnya
melainkan karena keputusasaan. Inilah yang gambaran orang yang kehilangan
pengharapan. Namun buku Ibrani dengan gembira mengumumkan bahwa hal ini tidak
akan terjadi. Pelari yang lemah tidak akan berhenti karena tidak mampu tapi
mereka akan disembuhan (ayat 13). Rahasiannya adalah tetaplah menatap kepada
Tuhan Yesus.
Another Warning
Di pasal
6 dan 10 kita telah melihat amaran yang sangat keras yang nampaknya
menghilangkan kemungkinan untuk sebuah pertobatan. Di sini di pasal 12, mulai
dari ayat 14, kita datang pada amaran yang ketiga dan yang terakhir. Kita telah
memperhatikan polanya dalam dua amaran sebelumnyadan contoh yang terakhir ini
sangat cocok dengan pola itu. Ingatlah bahwa amaran yang keras nampaknya
menyarankan bahwa jika seseorang yang telah menjadi Kristen berbalik, tidak ada
kesempatan lagi untuk bertobat. Namun bagian kedua dari pola ini adalah satu
jaminan kembali bahwa pembaca sekarang tidak berada pada poin itu dan harus
mengambil kesempatan untuk bertobat. Di sini kita melihat pola yang sama
dinyatakan kembali.
Dalam
ayat 14-17 para pembaca diperingatkan, dengan pertolongan contoh dari Esau,
untuk tidak menjadi ornag yang tak bermoral dan tak kenal Allah. Esau menjual hak
kesulungannya hanya untuk sedikit makanan. Setelah itu, sekalipun dengan penuh
airmata ia memohon untuk satu pertobatan dan untuk menerima berkat itu, namun
tidak ada kesempatan lagi. Beberapa tindakan secara sederhana memiliki
konsekuensi yang tidak dapat terelakkan, tidak dapat kembali seperti semula
ketika tindakan itu belum terjadi , sekalipun oleh pertobatan. Jika engkau
membunuh seseorang, sejumlah maaf yang besar sekalipun tidak akan mengembalikan
kehidupan seseorang yang telah mati itu. Engkau dapatbertobat dan diselamatkan,
tapi engkau tidak dapat mengembalikan konsekuensi dari tindakanmu itu. Ini
seharusnya menjadi amaran yang serius dalam mengambil satu keputusan. Namun
sekali lagi, dalam pasal ini, kita melihat ada panggilan untuk sebuah pertobatan,
yang menyatakan bahwa para pembaca bukanlah berada pada situasi yang tanpa
pengharapan. Disinilah penulis mengangkat analogi yang lain lagi, perbandingan
antara dua bukit.
A Tale of Two Mountains
Ayat 18 hingga 24 membandingkan dua bukit. Yang pertama tidak
diberi nama, tapi jika kita mengenal cerita dalam buku keluaran dan cerita
pemberian hukum dalam Perjanjian Lama, kita tidak akan kesulitan untuk memahami
bahwa itu adalah bukit Sinai. Tentunya, bukit itu terletak di suatu tempat
sebelah Timul Laut Mesir. Disinilah Allah memberikan hukum itu.
Poin
yang ditekankan buku Ibrani tentang bukit Sinai sama dengan yang dipelajaran
ini diberikan dari kenyataan bahwa kita kehilangan akses pada hadirat Allah
dalam kaabah di bumi. Ingat bahwa dalam kaabah dibumi, para umat dipisahkan
dari hadirat Allah karena hanya imam besar yang dapat memasuki Bilik Maha Suci,
dan juga hanya setahun seali. Demikian juga, dalam pengertian yang sama,
keseluruhan pengalaman yang terjadi di gunung Sinai menekankan jarak dari Allah.
HadiratNya sangatlah tidak dapat dijangkau dimana bahkan sekalipunhanya hewan
yang menyentuh gunung itu, haruslah dilontari dengan batu. Dan bahkan sekalipun
Musa gemetar ketakutan. Untuk “Menjangkau” atau datang mendekati gunung seperti
itu adalah sesuatu yang sangat menakutkan.
Tapi
menurut ayat 22, para pembaca sekarang tidak perlu datang ke bukit Sinai.
Mereka harus datang ke bukit Zion, bukit kaabah Yerusalem. Tapi bukanlah
Yerusalem di bumi ini. Melainkan Yerusalem sorgawi. Umat ini memiliki hak
istiewa untuk menghampiri hadirat Allah, Hakim segala sesuatu, oleh karena
Yesus, perantara perjanjian baru, Imam besar dan saudara mereka yang berada
disana. Sekali lagi buku Ibrani. Menggambarkan orang Kristen seperti sudah
berada di bukit Zion, sudah berada di hadirat Allah. Inilah akses atau jalan
kita menghampiriNya yang diinisiatifkan untuk kita dan yang kita nikmati
sekarang.
Faktanya, kata Grika yang
diterjemahkan approach atau come dalam ayat 18 dan 22 adalah kata
yang menarik dalam buku ini. Kata itu dapat digunakan dalam percakapan
sehari-hari untuk tindakan seperti memindahkan sesuatu. Tapi kata itu juga
dapat digunakansebagai salah satu istilah teknis untuk menjangkau/menghampiri
dewa melalui korban atau persembahan di kuil. Buku Ibrani menggunakan kata itu
berkali-kali, dan mencapai puncak penggunaan lebih banyak pada paragraph di
pasal ini.
Pertama
kali kita menemukan kata ini dalam buku Ibrani adalah di bagian awal kita
mendiskusikan tentang kaabah dalam pasal 4:16, dimana kita pertama kali
diundang untuk menghampiri tahta kasih karunia dengan keyakinan karena Yesus
adalah Imam Besar kita. Dan kita menemukannya lagi dalam pasal 7:25, dimana
kita dijamin bahwa Kristus mampu menyelamatkan semua yang datang kepada Allah
melalui Dia. Dalam Pasal 10 :1 kita menemukan bahwa hukum korban yang
diulang-ulang di kaabah bumi tidak dapat menyempurnakan mereka yang menghampiri
Allah melalui korban, dimana Ibrani 10:22 mengakhiri pekabaran tentang kaabah
dalam buku Ibrani dengan mengatakan kepada kita bahwa melalui Kristus kita
dapat mendekati Allah dengan keyakinan. Ibrani 11:6 mengatakan bahwa untuk
menghampiri Allah, kita harus percaya bahwa Dia ada dan menghargai mereka yang
mencariNya. Akhirnya sekarang kita melihat lagi perbandingannya, Dibukit Sinai untuk
menghampiri Allah adalah sesuatu yang menakutkan dan menggetarkan. Tapi
sekarang orang Kristen dapat menghampiri hadirat Allah di bukit Zion.
Tema
menghampiri Allah atau akses kepada Allah adalah pokok pembicaraan yang sangat
jelas dalam buku Ibrani. Berulang-ulang kali kita diberitahukan tentang cara
yang baru dengan berbagai metafora yang menyatakan bahwa kita memiliki
keistimewaan untuk menghampiri Allah secara langsung, bukan dengan gemetar dan
ketakutan, tapi dengan keyakinan dan jaminan.
Ini adalah
kabar baik terutama ketika kita hidup di satu zaman dimana dua kata yang paling
ditakutkan adallah “access denied”.
Pernahkah anda melihat ini di layar dan engkau menjadi panik? Bayangkan jika
engkau berada di tempat yang jauh dari orang-orang yang dekat dengan engkau,
dan engkau membutuhkan uang. Namun ketika engkau hendak mengambil uang dari
ATM, engkau hanya menemukan kata “akses
ditolak” pada layar. Atau ketika engkau hendak menghubungi orang-orang yang
engkau butuhkan, engkau hanya mendapati tulisan pada layar “akses ditolak” di HPmu. Betapa suatu kabar baik bagimu bahw
Allah tidak pernah menolak aksesmu kepadaNya.
Namun
kabar baik ini seharusnya tidak menina-bobokan kita Mengabaikan kesempatan
seperti ini dapat berarti kematian dan kehancuran. Buku Ibrani menekankan bahwa
mereka yang menolak Allah di gunung Sinai tidak akan luput dari hukuman. Betapa
berbahayanya lagi jika kita menyia-nyiakan kesempatan yang besar yang diberikan
kepada kita.
Pada
akhir pasal ini, buku IBrani memberikan metafora yang mengejutkan karena dengan
gamblang menyatakan idenya. Di Sinai Allah menggungcang bumi, tapi para nabi
mengatakan bahwa akan datang saatnya dimana Allah akan mengguncangkan langit
dan bumi. Guncanggan terakhir ini adalah untuk mendirikan kerajaan yang tidak
terguncanggkan, kerajaan kemana kita diundang (ayat 25-29)
Beberapa alas an utama untuk kesedihan di atas bumi ini
terjadi oleh karena kehilangan kesempatan. Beberapa kesempatan tidak dapat
datang dua kali. Dalam bukunya berjudul “Liga Negro” (yang kemudian disebut)
Baseball, dimana pemain Afrila-Amerika
bermain karena mereka tidak diizinkan bermain pada ajang perlombaan besar,Buck
O’ Neil menceritakan banyak kisah tentang kehilangan kesempatan. Sungguh menyedihkan
bila memikirkan bahwa ada begitu banyak pemain besar yang dapat menraih rekor
pada ajang perlombaan besar jika saja mereka diijinkan bermain pada tingkat
kemampuan mereka itu. Engkau mungkin pernah merasakannya. Engkau tahu bahwa
engkau mampu mencapai rekor dalam suatu perlombaan jika saja engkau yang dipiih
untuk ikut serta dalam perlombaan tersebut, namun sayangnya, engkau tidak
terpilih. Engkau kehilangan kesempatan. Coba renungkan betapa menyedihkan jika
orang yang dipilih menggantikan engkau tidak mencapai rekor, kalah. Betapa
menyedihkan namun engkau telah kehilangan kesempatan itu. Atau engkau mungkin
telah dipilih namun oleh karena masalah pribadimu, engkau tidak bisa menang.
Betapa menyedihkan kehilangan kesempatan seperti itu.
Kita
punya banyak kesempatan-kesempatan besar untuk menghampiri Allah alam semesta.
Bagaimana mungkin kita mengabaikan kesempatan seperti itu,lalu? Dan meskipun
kita tahu bahwa Allah selalu murah hati, namun kita tidak tahu apa yang akan
terjadi kepada kita besok hari.
Nah, apa
yang dapat kita lakukan? Ibrani 12:28 mengatakannya dengan sederhana. Hanya
satu hal- mengucap syukur. Karena Mengucap syukur kepada Allah adalah
mempraktekkan pengabdian yang Dia inginkan. Apa lagi yang dapat kita lakukan
bagi Allah, karena kita telah menerima karunia yang ajaib dengan percuma dari
Allah alam semesta yang besaritu selain dari pada mengucap syukur dengan rasa
hormat dan kagum dna menunjukan sikap hormat lita melalui kehidupan yang
mengucap syukur? Pada awal pasal (ayat 10), penulis berbicara tentang disiplin
yang Allah berikan , yang menuntun kita untuk merasakan kesucian Allah. Menjadi
suci berarti menjadi milik Allah, menjadi bagian dari keluargaNya, menjadi
bagian dalam keselamatanNya. Itu suatu penghormatan, rasa terima kasih kita
kepada Allah.
Perhatikanlah
bahwa sekalipun kita harus menanggalkan
sikap takut dan gemetar di hadapan Allah seperti yang ditunjukan di
Gunung Sinai dan datang dengan keyakinan menghampiri bukit Zion dimana Dia
tingggal, namun kitapun tetap masih harus memiliki perasaan kagum dan hormat
kepada Allah. Dia adalah Allah, dan kita adalah manusia. Kenyataan inilah yang
membuat Allah berkehendak memberikan akses untuk kita menghampiri hadiratNya
yang lebih mengangunggkan itu.
|
|
Jika kita menggabungkan beberapa analogi dalam pasal ini,
gambarannya akan jadi sebagai berikut. Kita berada dalam suatu perlombaaan.
Kita telah menanggalkan beban dosa yang dapat menyebabkan kita lemah, dan
kita sementara berlari menuju garis finish. Pelatih kita, yang juga adalah
Bapa Sorgawi kita, sangat tau dorongan apa dan disiplin apa yang harus
diberikan kepada kita agar kita sukses, karena Dia sendiri telah memikul
Salib itu untuk kita. Tujuan kita dalam perlombaan ini adalah bukit Zion,
Yerusalem Surgawi. Kristus sudah mempersiapkan jalan bagi kita untuk
mencapainya. Kita dapat saja kehilangan semangat dan menolak untuk maju
terus. Tapi jika kita melakukannya, konsekuensinya sangat mengerikan. Namun
jika kita terus menjaga pandangan kita tetap menatap kepada Yesus dan membiarkan
Dia menuntun kita, kita dapat mencapaiNya. Tanpa keraguan. Peran kita
adalah untuk selalu mengucap syukur dan terus berlari.
|
|
Pasal
terakhir dalam buku Ibrani, yang kita akan pelajari pada lesson berikutnya,
akan membentuk satu kehidupan yang tahu mengucap syukur kepada Allah.